Abdon Nababan: Masyarakat Adat berbeda dengan entitas kerajaan dan kesultanan

Kabar
Para pemateri dan peserta Yo Riaya atau sarasehan bertajuk “Memperjelas Kedudukan dan Hak Konstitusi Masyarakat Adat dan Kerajaan/Kesultanan di Indonesia” berlangsung di Obhe Sereh, Kabupaten Jayapura, Papua pada 26 Oktober 2022.
Para pemateri dan peserta Yo Riaya atau sarasehan bertajuk “Memperjelas Kedudukan dan Hak Konstitusi Masyarakat Adat dan Kerajaan/Kesultanan di Indonesia” berlangsung di Obhe Sereh, Kabupaten Jayapura, Papua pada 26 Oktober 2022.

Sentani, MC KMAN VI –  Masyarakat Adat tidak bisa disamakan dengan Kerajaan atau Kesultanan karena posisi konstitusionalnya sangat berbeda.

Penegasan ini disampaikan Ketua Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS), Abdon Nababan saat menjadi keynote speaker dalam Yo Riaya atau sarasehan bertajuk “Memperjelas Kedudukan dan Hak Konstitusi Masyarakat Adat dan Kerajaan/Kesultanan di Indonesia” di Obhe Sereh, Kabupaten Jayapura, Papua pada 26 Oktober 2022.

Abdon menyatakan kerajaan atau kesultanan punya sejarah yang tidak bisa disamakan dengan Masyarakat Adat. Di Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke Enam (KMAN VI) ini, kita ingin memberikan penegasan posisi dan status yang berbeda antara Masyarakat Adat dan Kerajaan atau Kesultanan.

Meski dalam konstitusi kita sudah berbeda, sebut Abdon, kita melihat ada suatu upaya yang bisa mengaburkan batas antara Masyarakat Adat dan Kerajaan atau Kesultanan.

Abdon menjelaskan bahwa Kerajaan atau Kesultanan merupakan negara yang ada sebelum terbentunya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika mereka (kerajaan atau kesultanan) diterima sebagai pemerintah, artinya harus ada reorganisasi pemerintahan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Itu bisa berakibat pada pengambilalihan hak-hak Masyarakat Adat yang dulu di bawah Kerajaan dan Kesultanan.

Dalam konteks ini, kata Abdon, Masyarakat Adat bisa berhadapan dengan “dua negara” sekaligus.

“Dengan satu Negara Republik Indonesia saja masih banyak persoalan yang menimbulkan konflik, apalagi ditambah kehadiran Kerajaan dan Kesultanan. Karena itu, AMAN menegaskan Masyarakat Adat itu berbeda dengan entitas Kerajaan dan Kesultanan,” ujarnya.

Abdon menerangkan hari-hari ini paling tidak sejak 2021, teman kita dari Kerajaan dan Kesultanan sedang memperjuangkan mereka punya Undang-Undang sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka berjuang lewat DPD RI supaya ada dasar mereka punya posisi dan status hukum di negara ini

“RUU yang sedang mereka usulkan lewat perwakilan DPD RI namanya RUU Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara,” kata Abdon.

Sementara kita dari Masyarakat Adat, sebut Abdon, sedang berjuang lebih dari 10 tahun supaya memiliki UU yang mengakui dan memberikan perlindungan kepada Hak-Hak Masyarakat Adat, yaitu UU Masyarakat Adat.

Dua RUU ini, kata Abdon, kalau kita tidak cermat dan memberikan batas yang jelas dan tegas, ini bisa menjadi sumber masalah baru.  Jangan-jangan wilayah adat yang sedang diperjuangkan oleh Masyarakat Adat tidak kembali ke tangan kita, tapi kembali ke Kerajaan dan Kesultanan.

“Ini patut diwaspadai,” kata Abdon.

Karena itu, Abdon menyatakan pihaknya akan terus mendorong RUU Masyarakat Adat tidak boleh disamakan dengan Kerajaan dan Kesultanan karena posisi konstitusionalnya berbeda.

Ia menerangkan saat ini di Indonesia, kita melihat dan merasakan perkembangan satu gerakan yang dibangun dari kalangan kerajaan saat ini.  Abdon menyebut ada banyak sekali organisasi mereka (kerajaan/kesultanan).

“Ada tujuh organisasi yang mereka bangun untuk memperjuangkan pemulihan kembali Kerajaan dan Kesultanan agar bisa menjadi bagian dari pemerintahan RI,” ungkapnya.

Alfrida Ngato dari Masyarakat Adat Pagu yang turut menjadi pemateri dalam sarasehan ini menyatakan bahwa Kerajaan dan Kesultanan masih eksis di Ternate-Tidore. Ia minta kepada negara untuk mempertegas kedudukan Kerajaan dan Kesultanan yang ada di daerah tersebut.

Alfrida menyatakan hal ini penting karena dalam banyak kasus di Tidore sering sekali para pengelola negara belum paham siapa yang dimaksud dengan Kerajaan atau Kesultanan dan Masyarakat Adat.

“Harusnya orang-orang yang mengelola negara ini paham siapa Kesultanan dan Masyarakat Adat,” katanya.

Alfrida menambahkan ketidakpahaman para pengelola negara ini bisa menimbulkan dampak negatif dalam penyelesaian masalah di satu tempat. Ia mencontohkan saat ada permasalahan di kampungnya, yang didatangi para pengelola negara hanya pihak Kesultanan.

“Ini tidak baik, kalau pengelola negara saja tidak paham siapa Kesultanan dan Masyarakat Adat, bagaimana mungkin mereka dapat bertindak adil,” kata Alfrida.

Dukungan Publik dan Media

Sementara itu peran media massa dan media sosial dinilai sangat penting bagi perjuangan hak-hak masyarakat adat di nusantara. Pernyataan ini muncul dalam acara sarasehan dengan tema “Peran Media Massa & Media Sosial dalam Mendukung Perjuangan Hak Masyarakat Adat & Sebagai Ruang Kebebasan Berpendapat”.

Sarasehan yang dilangsungkan di Kampung Nendali, Kabupaten Jayapura, pada 26 Oktober 2022 tersebut, berjalan lancar dan aman hingga selesai.

Direktur Kemitraan, Laode Muhamad Syarif mengatakan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di wilayah Adat Tabi, Papua, yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Menurutnya, keberpihakan media perlu selalu digaungkan, terutama untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.

“Media harus menjadi tempat pembelajaran untuk perjuangkan hak masyarakat adat yang suaranya kadang tidak terdengar atau tidak sampai pada media dan masyarakat umum,” ujarnya di Sentani, Kamis (27/10/2022).

Sarasehan yang dihadiri lebih dari 100 peserta dari perwakilan komunitas masyarakat adat di penjuru nusantara ini, menjadi landasan penting untuk melihat lebih dalam peran media massa dan media sosial dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat dan perjuangan pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Salah satu narasumber yang merupakan jurnalis senior di Papua, Victor Mambor mengatakan, masyarakat adat juga harus mampu membangun media sendiri untuk mengabarkan berbagai isu masyarakat adat, dan tidak bersandar pada media arus utama saja.

Menurutnya, dengan kepemilikan media sendiri oleh masyarakat adat, maka semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat dapat terekspos dengan mudah.

“Punya perusahaan berbadan hukum, sehingga dalam melaksanakan kerja-kerja jurnalis akan lebih mudah dan harus terdaftar di Dewan Pers. Semua platform media dapat dikerjakan untuk kepentingan masyarakat adat,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Harry Surjadi dari Tempo Witness yang mendorong AMAN sebagai organisasi yang menaungi jutaan masyarakat adat, untuk membangun jurnalisme rakyat.

Sementara itu, Alfa Gumilang, Staf Infokom Pengurus Besar AMAN menyatakan bahwa media-media penting untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi suara-suara masyarakat adat yang selama ini dipinggirkan.

Terlebih, ketika terjadi konflik perampasan wilayah adat oleh perusahaan atau pemerintah, suara masyarakat adat kerap tak mendapatkan porsi yang baik.

“Hanya ada beberapa media yang secara konsisten memberikan ruang yang cukup baik bagi suara masyarakat adat,” ucapnya.

Oleh karenanya, masyarakat adat kerap menggunakan media sosial sebagai ruang untuk menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi. Walau saat ini dukungan publik secara umum belum terlihat masif atas isu-isu masyarakat adat, terutama pada agenda pengesahan RUU Masyarakat Adat.

“Jika RUU Masyarakat Adat ini disahkan, maka perampasan-perampasan wilayah adat tidak akan terjadi lagi. Sehingga sangat penting bagi publik luas untuk mau mendukung perjuangan pengesahan RUU yang sudah 12 tahun mengendap di DPR,” sambungnya.

Dalam sarasehan kemarin, salah satu pokok pembicaraan yang dibahas adalah media sosial. Hal ini lalu disoroti oleh Mardiyah Chamim dari Development Dialogue Asia. Mardiyah menilai di tengah keterbatasn media, perlu menggunakan media sosial sebagai senjata lain dari perjuangan masyarakat adat.

“Kita perlu gunakan semua senjata, media arus utama dan media sosial. Keduanya punya karakter. Media arus utama bisa ke advokasi yang terarah dan media sosial mengajak publik untuk mendukung atau peduli dengan apa yang dialami masyarakat adat,” ujar Mardiyah yang dulunya juga adalah seorang jurnalis.

Namun demikian, ruang terbuka untuk melakukan kampanye di media sosial bukan tanpa masalah. Mereka yang bersuara di media sosial masih terus dibayangi oleh UU ITE, yang bisa kapan saja menjerat masyarakat adat yang bersuara kritis. Padahal, bersuara di media sosial merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Komnas HAM sudah melakukan kajian dengan banyak pasal yang mengkriminalkan orang yang menyuarakan pendapat atau berekspresi.

“Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi ini fundamental. Bayangkan jika ada peristiwa yang mengusik keadilan dan tak manusiawi, maka masyarakat adat berhak berpendapat dan berkespresi,” ujar Mimin Dwi Hartono, Pelaksana Tugas Kepala Biro Pemajuan HAM Komnas HAM.

Sumber: MC KMANVI Kab. Jayapura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *