Masyarakat adat di Tanah Papua mengusulkan SK penetapan hutan adat. Tapi Mengapa hanya tujuh kelompok hutan adat yang diberikan SK penetapan? Pengakuan wilayah adat lambat, padahal sudah lebih dari 20 juta hektar wilayah adat terpetakan. Kondisi ini, menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat adat nusantara.
Sentani, MC KMAN VI – Baru pertama kali, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) menyerahkan surat penetapan hutan adat bagi masyarakat adat di Tanah Papua. Ada tujuh surat keputusan hutan adat kepada tujuh komunitas. Enam di Kabupaten Jayapura dan satu Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.
Penyerahan surat keputusan hutan adat dilakukan oleh Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK pada pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI, Senin (24/10) di Stadion Barnabas Youwe.
Dari tujuh SK hutan adat itu, enam di Kabupaten Jayapura, yaitu :
1.Hutan Adat Marga Syuglue Woi Yansu 15.602,96 hektar,
2.Hutan Adat Yano Akrua 2.177,18 hektar.
3.Hutan Adat Yano Meyu 411,15 hektar
4.Hutan Adat Yosu Desoyo 3.392,97 hektar
5.Hutan Adat Yano Wai 2.593,74 hektar
6.Hutan Adat Takwobleng 404, 9 hektar.
Sedangkan satu lagi, SK hutan adat Ogoney di Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat seluas 16.299 hektar.
Bagi masyarakat adat di Kabupaten Jayapura, pengakuan dengan pemberian SK terhadap hutan adat ini, tidak datang dari Pemerintah tapi melalui perjuangan panjang selama sembilan tahun gerakan Kebangkitan Masyarakat Adat yang diprakarsai oleh Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, S.E, M.Si.
Di hari kebangkitan Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura, Mathius Awoitauw, menyerahkan surat keputusan pengakuan wilayah adat untuk delapan komunitas adat di Kabupaten Jayapura. Ada wilayah adat Sawoi Hanya di Distrik Kemtuk Gresi, Yano Genyem Hamong (Distrik Nimboran), dan Yano Akrua (Distrik Nimboran). Kemudian, wilayah adat Yano Wai (Distrik Nimboran), Yano Imeno (Distrik Nimboran), Yano Meyu (Distrik Nimboran), Kusang Syuglue Woi Yansu (Distrik Kemtuk Gresi), dan Yosu Desoyo (Distrik Ravenirara).
Sementara itu, di Papua Barat, seperti yang dilansir Situs Berita Mongabay (26/10), Perempuan Marga Ogoney juga menjabat Kepala Distrik Merdey, Yustina Ogoney mengatakan, penetapan hutan adat Marga Ogoney menunjukkan adanya perhatian pemerintah kepada masyarakat adat di Tanah Papua.
“Melalui hutan adat kami masyarakat adat di Tanah Papua lebih khusus Marga Ogoney, berjuang melawan konsesi kayu agar tak menggunduli hutan kami,” kata Yustina Ogoney.
Menurut Yustina Ogoney, kehidupan masyarakat adat, bergantung pada tanah dan hutan adat. Dengan pengakuan melalui SK ini, masyarakat adat dapat membuat perencanaan pengelolaan untuk mendukung program pemberdayaan masyarakat.
Sementara itu, Zoel Hisbullah, dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, hutan adat itu, bukan hutan pemerintah. Tetapi dalam pemanfaatannya, kemungkinan bisa memakai dasar hukum berbeda.
“Kalau hanya dalam kawasan hutan, izin-izin pemerintah masih mudah berikan. Saat jadi hutan adat, memungkinkan pakai dasar hukum berbeda bahwa hutan adat bukan hutan negara,” kata Zoel Hisbullah, dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Menurut Zoel Hisbullah, penetapan SK Hutan Adat ini, baru pertama kali dilakukan KLHK di Papua dan terbilang paling besar di Indonesia. Yuglue Woi Yansu, misal, mendapat hutan adat seluas 15.602,96 hektar atau Marga Ogoney mencapai 16.299 hektar.
Franky Simparante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka mengatakan, banyak kelompok masyarakat adat di Tanah Papua mengusulkan hutan adat. Salah satunya, Marga Gelek Malak Kalagilis Pasa, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Tahun 1990-an, kawasan hutan Kalagilis dan sekitarnya hingga ke daerah Makbon menjadi areal konsesi PT Intimpura Timber Co, anak perusahaan PT Kayu Lapis Indonesia Group yang memiliki areal seluas 330.000 hektar atau lima kali lipat luas DKI Jakarta.
Tapi masyarakat adat Gelek Malak Kalagilis Pasa menolak PT Intimpura Timber Co. Mereka tidak tergoda melepaskan tanah dan hutan adatnya kepada perusahaan perkebunan Kepala Sawit PT Henrison Inti Persada yang sedang mengembangkan usaha perkebunan kepala sawit di sebelah barat daerah Kalagilis.
Sedangkan di Kabupaten Jayapura, Masyarakat Adat Grime Nawa, berdasarkan keputusan musyawarah adat Daerah Grime Nawa (21/7/2022) meminta dan menuntut Bupati Mathius Awoitauw untuk segera mencabut Ijin Hak Guna Usaha (HGU) dari PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di atas lahan 30.920 Ha yang berlokasi di wilayah adat mereka.
Setelah itu, Bupati Jayapura Mathius Awoitauw menyatakan, ijin lokasi yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Jayapura telah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang lagi. Untuk itu, tidak boleh ada aktivitas yang dilakukan oleh PT PNM di atas lahan 30.920 Ha itu.
Pemerintah Kabupaten Jayapura mendukung secara penuh dilakukannya pemetaan wilayah adat di lokasi hukum adat masyarakat Grime Nawa. Dan Pemerintah Kabupaten Jayapura bersama Pemerintah Provinsi Papua akan berkoordinasi langsung dengan Kementerian lingkungan hidup terkait ijin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH). Mengenai HGU akan ditinjau kembali dengan melihat pemetaan adat yang akan ditetapkan.
“Pertanyaannya, kenapa hanya tujuh kelompok hutan adat yang diberikan SK penetapan?”
Franky Simparante menilai, proses penetapan hutan adat itu tidak sistematik dan tak transparan. “Pemerintah tak menjawab usulan hutan adat berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan. Masyarakat adat bertanya-tanya alasan di balik tidak ada penetapan hutan adat oleh KLHK,” Tanya Franky Simparante.
Menurut Frangky, penetapan hutan adat harus mengutamakan nilai dan ketentuan masyarakat adat. bukan negara. “Masyarakat adat paling tahu hutan mereka. Penilaian oleh negara dengan menggunakan tim verifikasi di luar masyarakat. Tahapan ini bisa subyektif tergantung siapa tim penilai.” Kata Frangky.
Menurut Frangky, pengakuan wilayah adat ini di lokasi yang sudah terbebani izin dan pemerintah daerah belum mencabut atau mengoreksinya.
“Mestinya selain penetapan wilayah adat, juga memastikan tempat-tempat itu sudah clear dari izin-izin. Dalam arti, wilayah adat yang dimaksud sepenuhnya dikelola masyarakat adat.”
Sedangkan, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, progres pengakuan wilayah adat lambat padahal sudah lebih dari 20 juta hektar wilayah adat terpetakan. Kondisi ini, katanya, menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat adat nusantara.
“Ketangguhan kita sebagai masyarakat adat itu ditentukan oleh keutuhan wilayah adat,” katanya, dalam pembukaan KMAN VI yang berlangsung 24-30 Oktober 2022. Pembukaan sekaligus perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat IX di Kabupaten Jayapura.
Saat sama, pemerintah juga menyerahkan kodifikasi 14 kampung adat, SK Bupati tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan wilayah adat, peluncuran peta masyarakat adat, peluncuran Nusantara Fund dan penandatanganan nota kesepahaman AMAN dan KPU.
Sumber: MC KMANVI Kab. Jayapura