Sentani, MC KMAN VI – Media massa sudah menjadi industri. Akibatnya, suara masyarakat adat terabaikan dan media massa kurang memberikan perhatian terhadap perjuangan masyarakat adat terhadap jati diri dan hak-haknya yang dicaplok oleh pemerintah dan koorporasi.
Hal ini dibahas dalam sarasehan 12 Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI di Obhe Nendali-Netar belum lama. Menurut Rafael Ratong Hera, Anggota Dewan Aliasi Masayarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Nusa Flores Bagian Timur, Region Bali Nusa, bahwa kurangnya perhatian media massa untuk mempublikasikan perjuangan masyarakat adat terhadap jati diri dan hak-haknya yang dicaplok oleh pemerintah dan koorporasi lantaran media massa lebih mementingkan informasi yang bisa dijual karena media massa itu sudah menjadi lembaga bisnis.
“Ada anggapan, informasi tentang perjuangan masyarakat adat itu, kurang seksi untuk dijual. Tapi kalau dalam perjuangan masyarakat adat itu, ternyata ada korban jiwa yang meninggal, barulah, media massa ramai-ramai memberitakan. Untuk itu, dalam sarasehan di Kampung Nendali, pesertanya membahas tentang peran media massa dan media sosial dalam mendukung perjuangan hak masyarakat adat sebagai ruang kebebasan berpendapat,” kata Rafael Ratong Hera.
Lebih lanjut Rafael Ratong Hera menjelaskan, tentang kondisi masyarakat adat saat ini yang berada dalam pusaran arus informaasi dan kebebasan berpendapat. “Media massa saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh penguasa. Sedangkan media massa yang independen dan berpihak kepada masyarakat adat, pada umumnya media massa yang diterbitkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang jumlahnya sedikit dan jangkauan terbatas bila dibandingkan denga media massa arus utama yang berorientasi bisnis informasi,” kata Rafael Ratong Hera.
Dari kenyataan ini, Rafael Ratong Hera meminta AMAN untuk melihat peluang-peluang dalam upaya memperkuat pengaruh masyarakat adat di ruang publik.
Sumber: MC KMANVI Kab. Jayapura