Perubahan Iklim Mengacam Masyarakat Adat di Pesisir

Kabar
Simon Kamsya(kedua dari kanan, kemeja kotak-kotak merah) di antara pemateri lainnya pada sarasehan hari kedua di Kmapung Kayo Pulo.
Simon Kamsya(kedua dari kanan, kemeja kotak-kotak merah) di antara pemateri lainnya pada sarasehan hari kedua di Kmapung Kayo Pulo.

Sentani, MC KMAN VI –  Hal ini sisampaikan, Simon Kamsy dari Komunitas Adat Aru yang memiliki lebih dari 700 pulau. Di sana, telah terjadi perubahaan iklim  yang cukup mempengaruhi kenaikan permukaan laut. Laut kini mengalami ancaman serius dan  terancam tenggelam.

Bukan hanya itu, kata Siom,” perbahaan iklim juga telah merubah kalender melaut yang yang telah ada turun-temurun diyakini masyarakat adat di pesisir, sebagai  kalender alam. Kini, semua berubah seriring perubahan iklim terjadi. Misalnya, air laut dan angin bisa berubah kapan saja, tidak menentu.

“itu yang paling terasa di kalangan masyarakat adat yang hidup di pesisir. Nelayan tidak bisa menjaring di laut sesuai musim. Itu mempengaruhi pendapatan ekonomi mereka. Ini bukan hanya di Aru saja, tapi, saya yakin ini juga terjadi di wilayah adat pesisisr lain.”

Bagian lain adalah pembangunan ekstraktif. Yaitu pembangunan yang tidak memperhatikan perubahaan iklim. Ia mencontohkan, pembuatan jalan di pualu-pulau kecil.

Menurut Simon,”jalan-jalan itu, dibuat untuk pencuri kayu di huta yang ada di pualu-pulau kecil.”

Di Aru sempat ada 34 perusahaan yang rencananya akan melakukan eksplorasi di Aru. Namun, dengan kekompakan masyarakat adat untuk menolak dan membatalkan ijin operasi sekian perusahaan itu.

Topik sarasehan har ini, (26/10) di Kayo Pulo, ““Situasi dan Tantangan Ruang Hidup Masyarakat Adat di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”

Sarasehan yang  membahas tentang situasi ruang hidup dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas Masyarakat Adat di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Bagaimana sistem-sistem pengelolaan berbasis pengetahuan tradisional atas pesisir dan pulau-pulau kecil.  Dapat  menjamin kesejahteraan Masyarakat Adat dan keberlanjutan ekologis. Hal ini diharapkan kemudian menjadi model yang dapat diidentifikasi, dipromosikan dan diadopsi oleh negara.

Pada sarasehan hari kedua-di Kampung Kayo Pulo ini, menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang.

Simon  dan beberapa pemateri lainnya: Asmar Exwar (Jaring Nusa), Ir. R. Moh. Ismail, MP. (Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil)Dr. Tine Tjoa, S,Hut, M.Si  (Universitas Pattimura),Jererson Tasik (KIARA/Jaringan Baileo Maluku),Simon Kamsy (Komunitas Adat Aru),Agung Ady Setiyawan (Forest Watch Indonesia) dan Meleky Nahar (Jaringan Advokasi Tambang).

Diakhir sesi yang dibawakan  Simon. Ada pesan yang  menjadi catatan penting bagi masyarakat adat di pulau-pulau dan pesisir. “Kita perlu  menjaga keutuhan wilayah adat kita. Itu dimulai dari keluarga,marga,dan komunitasnya.”

“ Kami telah berhasil membatalkan adanya rencana masuknya perusahaan di wilayah adat kami. Itu kami mulai dari keluarga kita.”

Sumber: MC KMANVI Kab. Jayapura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *